Meski sudah ada aturannya, mulai dari Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 19 tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Lalu, dirubah nomenklaturnya menjadi Permentan nomor 11 tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO).
Hingga, diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia serta Permentan No. 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggara ISPO.Namun, capaian sertifikasi ISPO masih rendah. Bahkan, sertifikasi ISPO yang diraih petani hanya 81 sertifikat dengan luasan 60.235,58 hektare, dari penguasaan lahan oleh petani seluas 6,94 juta.
Sementara, data dari Kementerian Pertanian juga menunjukkan capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang masih tertinggal, lantaran baru seluas 5,6 juta hektar, atau capaian ISPO saat ini hanya mencapai sekitar 37,08 persen.
Lantas, bagaimana target mandatory ISPO Petani sawit yang akan diberlakukan pada 2025? Apa upaya dari pemerintah?
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun), Ditjen Perkebunan – Kementerian Pertanian, Prayudi Syamsuri,menyampaikan pihaknya menegaskan komitmennya untuk memperkuat kelembagaan sebagai upaya menghadapi tantangan dalam mencapai target ISPO yang lebih tinggi.
Dalam konteks ini, pihaknya meminta Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk memberikan dukungan dalam pembiayaan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB).
“Bagi kelompok pekebun yang telah melakukan proses ISPO diminta untuk mendaftar sesuai dengan program Sarana dan Prasarana (Sarparas),” ujarnya.
“Dalam upaya optimalisasi penggunaan dana, pentingnya mengusulkan target-target secara tepat dan efisien. Proses ini akan mendapatkan pengawalan langsung dari pihak terkait untuk memastikan kelancaran dan efektivitasnya,” tambah Prayudi.
Selain itu, lanjutnya,revisi dalam implementasi ISPO menjadi hal yang penting untuk dibahas.Pembahasan meliputi aspek hilir tanaman sawit dan menyesuaikan status ISPO menjadi mandatory atau voluntary.
“Proses revisi peraturan oleh Kementerian Pertanian diharapkan dapat mempercepat penyelesaian, sehingga ISPO dapat diterapkan dengan lebih luas dan efektif. Model penilaian akan terus disempurnakan untuk mengurangi biaya dan mempercepat proses sertifikasi ISPO, sehingga beban BPDPKS dapat dikurangi dan dialihkan ke koperasi lainnya,” kata Prayudi.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari, menekankan pentingnya Sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai identitas utama dalam menjadikan industri kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
“Saat ini sudah tidak relevan lagi membandingkan ISPO dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) atau sebaliknya. Mari kita miliki jati diri ISPO dan menjadi sawit berkelanjutan versi Indonesia, kami hanya mengikuti kebijakan yang sudah ditetapkan,” ujarnya.
Seperti diketahui, sebelumnya BPDPKS hanya memberikan biaya untuk sertifikasi melalui pendanaan dan pembiayaan Legalisasi Sarana (LS) dalam proses sertifikasi. Namun, kini pendekatan tersebut telah berubah. BPDPKS akan memperbaiki prosesnya dengan memberikan penguatan kepada petani untuk memulai proses ISPO.
“Kami terus mendorong inisiatif ini karena prinsip ISPO yang terus membangun. Membangun itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, dan saat ini kita akan memberikan pelatihan kepada petani terlebih dahulu tentang Legalisasi Sarana sebelum mereka memperoleh ISPO. Kami mendorong petani untuk mengadopsi ISPO,” tegas Sunari.
Sementara itu, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, mengungkapkan pentingnya memperluas akses pendanaan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) bagi petani kelapa sawit. Akses tersebut tidak seharusnya dibatasi hanya untuk pekebun, melainkan juga perlu diberikan kepada organisasi seperti SPKS yang memiliki polygon atau kemitraan kelompok tani.
“SPKS memiliki sebanyak 20 ribu anggota petani sawit yang tersebar di 15 Kabupaten. Namun, sayangnya, para petani tersebut mengalami kendala saat hendak melakukan sertifikasi ISPO karena terkendala oleh masalah pembiayaan. Mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan proses sertifikasi ISPO,” ungkapnya.