
Produktivitas sawit yang jauh lebih unggul dibandingkan minyak nabati lain membuat komoditas ini sulit disaingi. Dari lahan hanya 8 persen, sawit mampu memenuhi sepertiga kebutuhan minyak nabati dunia.
Kondisi ini, menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Wakasekjen) Dewan Negara-Negara Produsen Kelapa Sawit (CPOPC), Musdhalifah Machmud, menjadi alasan wajar mengapa kampanye negatif terhadap sawit kerap bermunculan dari negara pesaing.
Ia menjelaskan, produktivitas sawit jauh melampaui komoditas minyak nabati lain. Sawit mampu menghasilkan sekitar 4—5 ton per hektare, sementara kedelai hanya 0,4 ton, rapeseed 0,2–0,3 ton, dan bunga matahari bahkan tidak sampai 1 ton.
Musdhalifah menegaskan, keunggulan inilah yang membuat pesaing sulit menandingi sawit. Tanpa kampanye negatif, industri dikhawatirkan akan beralih menggunakan minyak sawit.
“Karena memang satu, produktivitasnya rendah, jadi harga mestinya akan bisa lebih rendah. Tetapi kenyataannya sekarang, karena Indonesia menggunakan untuk biodiesel, itu pasar panik,” ujar Musdhalifah.
Ia menambahkan, kebutuhan dunia terhadap sawit saat ini sangat besar, bukan hanya untuk minyak makan, tetapi juga energi maupun bahan-bahan industri lainnya.
Data Oil World 2025 mencatat, total ekspor sawit dunia pada Juni–Juli 2025 mencapai 9,9 juta ton, atau naik 1,1 juta ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
“Kenapa negatif, itu ujung-ujungnya memang persaingan. Mereka nggak mungkin menyaingi kelapa sawit yang produktivitasnya sampai tujuh hingga sepuluh kali lipat dari produk-produk minyak nabati lain,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan total penggunaan lahan untuk seluruh minyak nabati dunia mencapai 323,5 juta hektare dengan kebutuhan global sekitar 260,92 juta ton.
Dari angka tersebut, Musdhalifah menyebutkan, sawit hanya memanfaatkan 8 persen lahan, tetapi mampu menyumbang (share) 34 persen kebutuhan dunia.
“Jadi bagaimana negara lain tidak takut minyak nabati mereka. Mereka itu kan, Eropa, Amerika, itu melindungi komoditasnya, karena itu memang komoditas rakyat dan penggunaan lahan yang besar untuk minyak nabati,” ujarnya.
Menurutnya, dengan dominasi sawit, komoditas minyak nabati lain berpotensi tersingkir.
“Kalau kemarin ekonom bilang Indonesia jangan dibatasi, jangan moratorium sawit, jangan terlalu besar biodieselnya, supaya pasar mereka luas. Karena ternyata mereka sudah mulai melihat ada kelangkaan,” jelasnya.
Musdhalifah mengungkapkan, kondisi harga juga mulai berubah. Jika sebelumnya sawit selalu berada di bawah harga soybean, kini justru lebih tinggi. “Itu sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Karena soybean volumenya lebih rendah, tetapi kenyataannya mereka butuh banyak,” ujarnya.
Lebih jauh, Musdhalifah menyinggung peluang pengembangan sawit di kawasan lain, termasuk Amerika Latin. Menurutnya, tambahan kebutuhan minyak nabati dunia pada 2050 diperkirakan mencapai 200 juta ton.
“Tahun 2050 akan ada tambahan 200 juta ton minyak nabati lain. Kalau tidak dipenuhi dari kelapa sawit, itu akan membutuhkan lahan beratus-ratus juta hektare. Tapi dengan kelapa sawit, kita bisa penuhi hanya dengan 48 juta hektare,” katanya.
Karena itu, ia mengajak negara-negara Amerika Latin ikut menanam sawit dan bergabung dalam CPOPC. “Saya bilang ayo Amerika Latin, tanem saja, masuklah ke CPOPC, kita bisa bantu bagaimana menanam sawit yang baik. Mereka bilang, iya, kami butuh Indonesia karena sawit Indonesia paling baik,” ujarnya.