Dari MoU Menuju Aksi: GAPKI dan APHI Perkuat Sinergi Cegah Karhutla

0

Langit Jakarta siang itu berawan tipis ketika dua asosiasi besar di sektor sumber daya alam menandatangani kesepakatan penting. Di sebuah ruang pertemuan di ibu kota, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Soewarso menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU).

Kerja sama ini bertujuan tunggal: mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun di baliknya, tersirat tekad untuk mengubah hubungan lama antara sawit dan hutan—dua sektor yang kerap disalahkan atas bencana asap—menjadi kolaborasi baru dalam menjaga bumi.

“Dunia usaha dapat mengambil peran positif dalam membantu pengendalian karhutla,” kata Eddy Martono, Kamis (16/10). Suaranya mantap, mencerminkan kesadaran bahwa pencegahan karhutla bukan lagi urusan pemerintah semata. “Kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri,” tambahnya.

Kerja sama antara GAPKI dan APHI ini merupakan tindak lanjut dari roadshow Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, beberapa waktu lalu. Dalam kunjungan itu, Hanif meninjau kesiapan sejumlah perusahaan kelapa sawit dalam mencegah kebakaran di musim kering. Hasil pengamatan tersebut mendorong dua asosiasi pelaku usaha ini untuk duduk bersama—menyatukan strategi, sumber daya, dan pengaruh mereka di lapangan.

Isi MoU itu mencakup banyak hal. Kedua organisasi sepakat saling membantu dalam pembinaan masyarakat di sekitar kawasan hutan dan perkebunan. Mereka akan menggelar pelatihan, membangun kapasitas warga, dan memperkuat sistem deteksi dini terhadap potensi kebakaran. “Kami ingin masyarakat di sekitar hutan dan kebun punya kemampuan menghadapi bahaya api, bukan hanya menunggu bantuan datang,” ujar Eddy.

Salah satu wujud konkret dari kesepakatan itu adalah pembentukan model Desa Peduli Api atau Kelompok Tani Peduli Api. Program ini sudah berjalan di sejumlah provinsi, namun kini diperluas dengan kolaborasi lintas sektor. Melalui pembinaan ini, masyarakat diharapkan dapat mengelola lahan tanpa bakar sekaligus memperoleh manfaat ekonomi dari praktik berkelanjutan. “Pencegahan tidak bisa hanya lewat larangan. Harus lewat pengetahuan dan kesejahteraan,” kata Soewarso.

Ketua Umum APHI itu menjelaskan, MoU ini juga membuka ruang bagi inovasi teknologi pengendalian kebakaran. Di era satelit dan drone, katanya, dunia usaha mesti memanfaatkan data dan perangkat modern untuk mempercepat deteksi dan respon dini. “Kami bersama-sama akan membangun mekanisme koordinasi, patroli, serta respon cepat terhadap bahaya karhutla,” ujar Soewarso. Ia menambahkan, kerja sama ini akan memperkuat sistem peringatan dini di lapangan, terutama di kawasan hutan produksi dan perkebunan besar yang rawan terbakar.

Kerja sama lintas sektor seperti ini sebenarnya telah lama diimpikan. Setiap tahun, karhutla menelan ribuan hektare lahan, merusak ekosistem, dan mengirimkan kabut asap hingga lintas negara. Namun, sering kali pencegahan terbentur pada tumpang tindih kewenangan dan kepentingan ekonomi. Dunia usaha berjalan sendiri, pemerintah membuat kebijakan sendiri, sementara masyarakat lokal kerap berada di posisi paling rentan. Nota kesepahaman antara GAPKI dan APHI mencoba menembus sekat itu.

Bagi Eddy Martono, kolaborasi ini bukan hanya langkah simbolis. “Kami ingin menunjukkan bahwa pelaku usaha bisa jadi bagian dari solusi, bukan sekadar disebut sumber masalah,” ujarnya. Dalam beberapa tahun terakhir, GAPKI memang berupaya membangun citra baru industri sawit sebagai sektor yang bertanggung jawab. Program keberlanjutan, sertifikasi lahan bebas bakar, dan restorasi gambut menjadi bagian dari strategi itu.

Sementara APHI menekankan aspek pengelolaan hutan lestari. Menurut Soewarso, pengusaha hutan punya tanggung jawab langsung atas jutaan hektare kawasan yang mereka kelola. “Kalau hutan kami terbakar, habislah investasi, habislah kepercayaan publik,” katanya. Karena itu, ia memandang kerja sama ini bukan hanya urusan formalitas, tapi kebutuhan nyata.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyambut baik inisiatif tersebut. “Kolaborasi multipihak adalah kunci,” ujar Hanif Faisol Nurofiq dalam pernyataan terpisah. Menurutnya, sinergi antara pelaku usaha sawit dan kehutanan akan memperkuat strategi nasional pengendalian karhutla yang kini difokuskan pada pendekatan pencegahan.

Di luar ruang penandatanganan, langkah kecil ini membawa resonansi besar. Indonesia punya sejarah panjang dengan karhutla: dari Sumatera Selatan hingga Kalimantan Barat, dari gambut yang mengering hingga hutan produksi yang gundul. Setiap musim kemarau, bayang asap kembali menghantui. Namun, jika komitmen dua sektor raksasa ini dijalankan serius, ada peluang untuk memutus siklus itu.

GAPKI dan APHI sepakat, upaya pengendalian karhutla tak cukup dengan patroli dan pemadaman. Edukasi, pemberdayaan ekonomi, dan teknologi harus berjalan beriringan. Program pelatihan masyarakat, dukungan alat deteksi, dan sistem pelaporan terpadu akan menjadi bagian dari rencana aksi bersama. Tujuannya sederhana: mencegah api sebelum muncul.

“Kerja sama ini adalah investasi jangka panjang,” kata Soewarso. “Kalau kita gagal mencegah karhutla, biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus kita tanggung jauh lebih besar.”

Di akhir acara, dua tangan kembali bersalaman. Tak ada upacara megah, tak ada tepuk tangan panjang. Hanya kesepakatan diam-diam yang mengandung harapan besar: bahwa di negeri yang dikelilingi hutan dan kebun ini, api bisa dikendalikan bukan hanya dengan air, tapi dengan komitmen bersama.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini