Dewan Pengawas Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Dubes Yuri O. Thamrin, menyebut warga Indonesia yang memusuhi sawit tidak normal.
Pernyataan ini disampaikan dalam acara Bedah Buku dan Diskusi Kelapa Sawit dalam Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Sains, Ekonomi, dan Lingkungan, di Ruang Auditorium Sukadji Ranuwihardjo, Magister Manajemen UGM YogyakartaKamis (26/9).
Awalnya, Yuri menjelaskan, penurunan ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa, yang tercatat antara 3,5 hingga 3,7 juta ton pada tahun 2022, disebabkan oleh berbagai regulasi dan kampanye hitam.
Dia menilai situasi ini aneh karena konsumsi minyak nabati di Eropa justru terus meningkat. Lantas siapa yang mengisi kekosongan tersebut? Jawabannya adalah minyak nabati yang diproduksi oleh negara-negara Eropa sendiri.
“Yang mengisi adalah minyak nabati yang diproduksi oleh Eropa sendiri. Siapa itu? Ya, negara-negara seperti Ceko, Bulgaria, Romania. Jadi, ini pada dasarnya adalah taktik dagang,” kata Yuri.
Mantan diplomat senior dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dalam diplomasi bilateral dan multilateral ini juga menekankan, kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri dengan isu yang serupa.
“Kalau Eropa memusuhi sawit, itu normal karena itu kompetitor kita. Tapi, kalau warga negara Indonesia memusuhi sawit, itu saya kira tidak normal,” ungkap dia.
Lantas bagaimana melawan kampanye hitam?
Yuri menjelaskan dua langkah strategis untuk menghadapi kampanye hitam terhadap industri sawit Indonesia. Pertama, dia menekankan pentingnya menyampaikan informasi yang objektif tentang sawit dan memberikan pemahaman yang jelas mengenai keberlanjutan praktik yang diterapkan.
Kedua, untuk mengubah citra, realitas yang ada harus diubah. “Kalau Anda mau memperbaiki image, Anda ubah realitas Anda. Dan Indonesia sudah mengubah realitasnya,” ungkap dia.
Yuri menyoroti, Indonesia telah melakukan perubahan signifikan, seperti memperkenalkan konsep “Follow Net Sink,” yang bertujuan agar 120 juta hektare hutan di Indonesia menjadi karbon netral pada tahun 2030.
Dia mencatat kemajuan dalam pengurangan deforestasi, dari 3,5 juta hektare pada tahun 2000 menjadi hanya 104 ribu hektare saat ini.
“Kita tidak mengklaim bahwa kita sempurna, tapi kita membuat kemajuan,” ujarnya, mengajak dunia untuk melihat Indonesia sebagai glass half full, not half empty (gelas setengah penuh, bukan setengah kosong).
Dalam konteks kebakaran hutan, Yuri menegaskan bahwa 80 persen kebakaran hutan di Indonesia tidak terjadi.
“Kalau Anda baca koran, sekarang ini Portugal lagi kebakaran. Bulan lalu, Greece kebakaran. Tanahnya pernah kebakaran dan membakar hutan seluas state of Florida. Asapnya kemana-mana,” kata dia
Dia juga menyoroti keberhasilan proyek REDD+ yang berfungsi untuk mengurangi emisi akibat deforestasi, di mana Indonesia mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah Norwegia dan berbagai lembaga lainnya berkat upaya menjaga hutan.
“Kalau kita melihat proyek yang namanya REDD+, kita mendapat bayaran dari pemerintah Norwegia, dari bermacam-macam insansi karena kita menjaga hutan kita,” kata Yuri.