Metoda Karisiak untuk Kendalikan Hama Kakao

0

Pusat pengembangan industri kakao di Palu, Sulawesi Tengah telah diresmikan Menteri Perindustrian Saleh Husin. Fasilitas ini diberi label “Rumah Cokelat” dan “Rumah Kemasan” untuk memacu pengembangan industri cokelat di dalam negeri.

Dengan berdirinya fasilitas pengembangan industri kakao tersebut diharapkan, Indonesia tidak hanya berhenti sebagai produsen bahan baku saja, tetapi juga mulai merambah hilirisasi, yakni menciptakan industri pengolahan yang memilki daya saing yang tinggi.

“Jadi saya harapkan tidak lagi berhenti di produksi bahan baku. Pelaku industri dapat menciptakan nilai tambah. Dan itu pun bisa dilakukan langsung di Palu, salah satu daerah produsen kakao utama di Indonesia,” kata Menperin Saleh Husin, baru-baru ini, di Palu.

Pemerintah berharap, keberadaan dua fasilitas itu dapat mendorong diversifikasi produk olahan kakao dan meningkatkan konsumsi cokelat di Indonesia. Rumah Cokelat yang merupakan bantuan dari Kementerian Perindustrian ini menjadi solusi hilirisasi industri cokelat di Palu.

“Palu ini salah satu terbesar penghasil cokelat. Sayangnya selama‎ ini kita banyak produksi dalam bentuk biji cokelat begitu saja. Sayang sekali kan,” ujar Saleh.

Industri pengolahan kakao dinilai punya peran penting meningkatkan devisa, pendapatan dan konsumsi cokelat masyarakat. Konsumsi kakao di Indonesia saat ini masih relatif rendah dengan rata-rata 0,5 kg/kapita/tahun, jauh lebih rendah dibanding dengan konsumsi negara-negara Eropa yang lebih dari 8 kg /kapita/tahun.

Kementerian Perindustrian telah menetapkan industri pengolahan kakao sebagai salah satu industri prioritas untuk dikembangkan melalui program hilirisasi.

Berbagai fasilitas melalui paket kebijakan, seperti pembebasan Bea Masuk atas impor mesin, barang dan bahan, Bea Keluar Biji kakao dalam rangka menjamin pasokan bahan baku biji kakao di dalam negeri, Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) bagi investasi baru maupun perluasan di bidang industri pengolahan kakao, telah diberikan pemerintah.

Pemerintah juga memberi Fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu, kemudian pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan dengan persyaratan merupakan industri pioner, rencana penanaman modal Rp 1 triliun dan telah berproduksi secara komersial.

“Kebijakan itu berdampak signifikan yang ditandai masuknya beberapa investor di bidang industri pengolahan kakao skala besar,” kata Saleh sembari menyebut beberapa perusahaan seperti Cargill Indonesia di Jawa Timur, Bery Calabout di Sulawesi Selatan, Asia Cocoa Indonesia di Batam dan lainnya.

Disamping industri besar tersebut, industri hilir pengolahan kakao skala kecil dan menengah (IKM) juga terus dipacu. Sebab, sektor ini mempunyai rantai nilai yang cukup banyak dan berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Sesditjen Industri Agro Kemenperin‎, Enny Ratnaningtyas menambahkan, di Rumah Cokelat ini biji cokelat dari petani diolah menjadi produk setengah jadi berupa blok-blok cokelat. Di rumah cokelat terdapat alat produksi yang tak dimiliki oleh petani kakao.

“Kita produksi cokelat blok sampai 70 kg per hari. Blok cokelat ini bentuknya cokelat setengah jadi yang belum manis. Nanti oleh industri kecil dan menengah diolah lagi, ada yang jadi minuman, ada yang jadi cokelat batangan, macam-macam tergantung kreasi IKM,” katanya.

Pembuatan cokelat setengah jadi ini sekaligus menjadi solusi bagi industri kecil menengah (IKM) di sektor pengolahan cokelat yang selama ini kesulitan mencari bahan baku. “Di sini meskipun petani cokelat banyak, tapi tidak ada yang mengolah. Pernah ada yang coba produksi sendiri dari biji menjadi yang siap konsumsi ternyata rasanya asam sekali. Dengan adanya ini, produsen dan petani sama-sama dapat solusi. Biji cokelat dari petani, kami olah jadi setengah jadi, lalu dimanfaatkan IKM menjadi produk siap jual,” kata Enny lagi.

Dikatakannya, rintisan bantuan terhadap Rumah Cokelat ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2013. “Tahun ini kita lengkapi dengan alat pres untuk memisahkan lemak dari cokelat. Investasi untuk Rumah Cokelat ini sebesar Rp 3 miliar lebih. Tahun 2013 sebesar Rp 2 miliar lebih, tahun 2015 sekitar Rp 1,3 miliar.”

Dengan cara ini, diharapkan industri cokelat di Kota Palu bisa semakin menggeliat dan bisa menjadi ikon baru komoditi asli kota bersangkutan.

Turut hadir Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, Pj. Walikota Palu Hidayat Lamakarate, Dirjen Industri Kecil dan Menengah, Euis Saedah, dan Sesditjen Industri Agro Kemenperin, Enny Ratnaningtyas dan Tim Japan International Cooperation Agency (JICA).

“Keberadaan Rumah Kemasan dapat dimanfaatkan IKM untuk memperbaiki kemasan dan desain produk yang turut membantu pemasaran ke luar daerah bahkan ekspor. Apalagi kemasan juga bagian dari penguatan merek atau branding,” ujar Dirjen Industri Agro, Panggah Susanto.

Ke depan, Rumah Cokelat di Sulawesi Tengah ini diharapkan bisa memotivasi provinsi-provinsi penghasil kakao di Indonesia untuk mengembangkan industri hilir kakao di daerah masing-masing.

Dengan bedirinya Rumah Cokelat, sejumlah petani di Sulawesi Tengah menyambut positif langkah pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan usaha sektor riil di daerah itu. “Kami senang karena hasil panen bisa dijual langsung di Rumah Cokelat,” kata Burham, petani asal Kabupaten Sigi.

Selanjutnya, Burham bersama kelompok taninya menyatakan siap melakukan fermentasi agar biji kakao bisa dijual di Rumah Cokelat. Selama ini, menurutnya, petani tidak melakukan fermentasi karena harga biji kakao di pasaran antara fermentasi dengan yang tidak diferementasi, sama saja.
Menurut dia, rata-rata petani setelah menjemur biji kakao langsung dijual kepada pedagang, baik yang datang membeli di kebun maupun menjualnya ke Kota Palu. Namun, dengan adanya Rumah Cokelat pertama di Sulteng yang ada di Kota Palu, petani bisa melakukan fermentasi dan menjualnya. ** SH

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini