Pemerintah terus mengkampanyekan program integrasi sapi-kelapa sawit (SISKA) untuk mendorong pemenuhan daging nasional.
Hal tersebut disampaikan steering committee (SC) Kongres Gabungan Penyelengara dan Pemerhati Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (GAPENSISKA) Prof Muladno, di Bogor Kamis, 10/3/2020.
Menurut Muladno, program integrasi sapiĀ kelapa sawit merupakan salah satu kegiatan yang berpotensi memberikan keuntungan bagi para pelaku perkebunan kelapa sawit, dimana beternak sapi di perkebunan kelapa sawit memberikan banyak banyak keuntungan.
“Salah satunya, adanya’ pupuk organik yang berasalĀ dari urin dan kotoran sapi, apalagi saat ini harga pupuk sedang melambung tinggi yang memberatkan petani,” kata Muladno.
Saat ini, lanjutnya, pemerintah pusat maupun daerah terus mengkampanyekan program integrasi sapi-kelapa sawit (SISKA) untuk memberikan alokasi sumberdaya peternakan ke perkebunan.
Terlebih Indonesia memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang cukup luas mencapai 16,38 juta ha, dengan luasan ituĀ potensi untuk diintegrasikan dengan sapi potong yang menguntungkan.
Namun sayangnya program integrasi sapi-kelapa sawit ini belum berkembang dengan baik dan diadopsi pengusaha, padahal dengan melihat potensi manfaat yang besar makaĀ integrasi ini bisa didorong.
Sebab itu guna mengoptimalkan sumberdaya alam yang berkelanjutan dengan melakukan integrasi sapi-kelapa sawit, maka dibutuhkan organisasi seperti GAPENSISKA, kata Prof Muladno.
Dalam membentuk organisasi ini, tutur Prof Muladno, pihaknya telah melakukan komunikasi dengan beberapa pelaku di Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta berlanjut ke upaya pembentukan organisasi GAPENSISKA.
Dalam sambutannya, Ditjen PKH yang diwakili Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Makmun menggatakan, guna memenuhi target pembangunan peternakan Nasional, Ditjen PKH telah melakukan berbagai upaya terobosan antara lain melalui tiga Program Prioritas Nasional dan Reguler Maksimal, dengan pendekatanĀ hulu-hilir,Ā Koporasi, Kemitraan, dan sinergisme kewenangan.
“Dari ketiga, Program Prioritas Nasional tersebut, salah satunya adalah Pengembangan Sapi dengan Pola Integrasi Sapi-Sawit,” jelas Makmun.
Lebih lanjut, kata Makmun, sistem pemeliharaan sapi saat ini di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat dengan pola usaha semi intensif dan intesif dengan rata-rata kepemilikan 2 (dua) ekor per peternak.
Guna membudidayakan 1,46 juta ekor sapi tersebut, diperlukan lahan sekitar 5,84 juta ha. Lahan tersebut digunakan untuk perkandangan dan budidaya hijauan pakan ternak.
“Saat ini masih sedikit lahan khusus bagi usahaĀ peternakan, sehinggaĀ sangatĀ tergantung dariĀ sumberĀ pakanĀ ternakĀ yangĀ adaĀ diĀ sekitar lokasi peternak dan dilepas di areal lahan kosong dengan kualitas pakan yang rendah,” katanya.
Lantas, kendala utama penyediaan daging sapi di Indonesia adalah ketersediaan sapi bakalan, dimanaĀ usahaĀ iniĀ akanĀ efisienĀ jikaĀ dilakukanĀ secara ekstensif dengan meminimalkan biaya pakan yang merupakan komponen terbesar dalam usaha ini, yaitu sebesar 58% (SOUT 2017).
āSehingga Pemerintah menetapkan salah satu program terobosan untuk usaha sapiĀ Ā dalam kondisi keterbatasan lahan yaitu pengembangan sapi dengan pola integrasi sapi-sawit, pungkas Makmun.