Majalah HORTUS Edisi 152 Mei 2025

0

Kemampuan negara kita untuk memproduksi dan mengekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dalam beberapa tahun terakhir ini makin menurun. Dengan kondisi seperti itu, tak ada ruginya bila para pemangku kepentingan sawit di negeri ini fokus untuk lebih mengembangkan produk hilir demi meningkatkan nilai tambah dari komoditas perkebunan andalan Indonesia ini.

Indonesia memang sejauh ini masih tercatat sebagai negara produsen utama CPO. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, kemampuan Indonesia untuk memproduksi CPO semakin menurun.

Banyak faktor yang menyebabkan kondisi yang kurang kondusif tersebut. Beberapa di antaranya adalah turunnya produktivitas sawit secara nasional akibat lambatnya melakukan peremajaan terhadap tanaman sawit tua, terutama kebun milik petani; Lebih dari 3 juta hektar kebun sawit bermasalah karena masuk dalam kawasan hutan; Meningkatnya konsumsi CPO di dalam negeri terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, biodiesel dan lainnya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono memperkirakan, dorongan peningkatan kandungan minyak sawit dalam biodiesel akan mengurangi ekspor Indonesia menjadi hanya 20 juta metrik ton pada tahun 2030, turun sepertiga dari 29,5 juta pada tahun 2024. Apalagi selama ini produksi kelapa sawit di Indonesia juga lambat, bahkan cenderung menurun.

Pembaca majalah ini yang kami banggakan,

Ihwal perlunya Indonesia saat ini fokus untuk lebih mengembangkan produk hilir kelapa sawit ini, kami kupas dalam Rubrik Liputan Khusus Majalah HORTUS Edisi Mei 2025.

Dalam pengamatan Eddy, kebutuhan minyak sawit untuk industri terus meningkat, terutama industri pangan. Dia menunjuk contoh produk margarin yang tidak bisa diganti minyak nabati lain karena bisa mempengaruhi kesehatan. Di beberapa negara, seperti AS, terdapat larangan penggunaan nabati lain selain minyak sawit untuk produk makanan.

”Saya meyakini kebutuhan di AS dan negara lain tetap besar. Oleh karena itu, walaupun ekspor turun, seharusnya tidak terlalu besar atau kemungkinan akan stagnan, tetapi tetap kita harus berbuat sesuatu agar pasar kita tidak hilang,” ungkapnya.

Sedangkan untuk Rubrik Laporan Utama, kami coba membahas rencana tarif impor tinggi (tarif timbal balik) yang dikenakan Presiden AS, Donald Trump untuk produk dari Indonesia yang masuk ke negaranya mencapai 32%, termasuk ekspor minyak sawit (CPO, Crude Palm Oil). Sementara terhadap impor minyak sawit dari Malaysia, Pemerintahan Trump hanya mengenakan 24%.

Dengan tarif impor tinggi yang dikenakan ke Indonesia tersebut maka akan membuka peluang masuknya Malaysia ke pasar AS, dengan kata lain memungkinkan diambil oleh Negeri Jiran tersebut. Sebab, persentase tarif timbal balik yang ditetapkan AS kepada Indonesia sebesar 32%, sedangkan Malaysia dikenakan tarif impor sebesar 24%.

Karena itu pulalah, cukup beralasan bila Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mendorong pemerintah untuk mengkaji pengurangan beban ekspor minyak sawit ke Amerika Serikat. Usulan ini muncul menyusul kebijakan tarif impor AS sebesar 32% yang berisiko menggerus daya saing sawit Indonesia di pasar tersebut.

Pembaca setia majalah ini…

Di luar kedua rubrik andalan tersebut, seperti biasa kami juga menyajikan berita atau tulisan yang tak kalah hangat dan menarik di rubrik-rubrik lainnya.

Akhirnya, dari balik meja redaksi, kami ucapkan selamat menikmati sajian kami.

Baca/download

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini