Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) meluncurkan Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045 di Jakarta, Senin (30/9).
Dalam arahannya, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menyampaikan, peluncuran ini sebagai langkah awal menuju transformasi yang diharapkan dapat mengembalikan Indonesia sebagai pemimpin global di sektor perkelapaan.
“Jadi, mudah-mudahan kita hadir hari ini bukan sekadar meluncurkan sebuah dokumen Peta Jalan Hilirisasi Kelapa untuk penduduk Indonesia. Jika hanya itu, kita berhenti dengan membaca,” ujar Suharso.
Suharso menyampaikan, Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu produsen kelapa terbesar di dunia. Saat ini, Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar kedua setelah Filipina, dengan produksi mencapai 2,83 juta metrik ton (MT) pada tahun 2023.
“Dan 99 persen produksi kelapa di Indonesia dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, kita berharap hilirisasi kelapa ke depan dapat memberikan peluang untuk mensejahterakan para petani dan masyarakat umum yang berkecimpung di sektor perkelapaan,” ujar Suharso.
Politisi dan pengusaha Indonesia berdarah Gorontalo ini menyatakan, cara pandang terhadap kelapa harus diubah. Kelapa tidak bisa lagi dilihat hanya dari perspektif tradisional seperti sebelumnya.
“Pohon kelapa ini dianggap pohon kehidupan, ada airnya, ada daging buahnya, ada batangnya, ada daunnya, ada akarnya yang semuanya bisa dimanfaatkan,” ungkap Suharso.
Pengembangan kelapa harus mengikuti kemajuan bioteknologi yang terus berkembang. Saat ini, banyak inovasi dalam industri kelapa, terutama yang berhubungan dengan biomassa dan bioavtur.
Kemudian, Suharso menyebutkan bahwa ada peluang dalam hal pengembangan bioselulosa yang berbasis nano dari nata de coco dan karbon aktif yang berasal dari kelapa untuk baterai listrik yang ramah digunakan.
“Dan juga kelapa dimanfaatkan untuk bio coating yang memiliki potensi aplikasi yang sangat luas,” sambung Suharso.
Dia juga menyampaikan bahwa turunan kelapa terus berkembang kemanfaatannya, misalnya penggunaan santan kelapa sebagai susu vegan.
“Dan juga potensi kegunaan yang luas dari produk kelapa lainnya saya kira patut untuk menjadi catatan kita dalam rangka proses bilirisasi kelapa ke depan,” ungkap Suharso.
Secara garis besar, Suharso mencatat dua tantangan utama dalam hilirisasi kelapa. Pertama, sulit memenuhi sulit memenuhi permintaan yang bersifat konsisten dan berkelanjutan.
“Tantangannya yang kita hadapi hari ini adalah kita sering kali kedodoran gitu. Kalau menghadapi permintaan. Jadi, begitu kita menghadapi permintaan yang sifatnya continue dan consistent itu itu langsung kita terkapar. Kita tidak punya. Padahal kesempatannya begitu punya besar,” jelas dia.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah daerah untuk mulai mengembangkan potensi kelapa yang ada di wilayah mereka jika tersedia.
“Jadi, kalau itu bisa dilakukan peremajaan dengan baik dan bisa menghitung sedemikian rupa ketersediaannya secara continue, maka persoalan klasik atas discontinue supply itu bisa kita atasi,” sambung Suharso.
Kedua, yaitu dampak perubahan iklim yang menyebabkan terjadi degradasi lahan dan menurunkan ketertarikan para petani untuk mengembangkan kelapa.
Karena itu, dia menyarankan agar kelapa ke depan sebaiknya mempertimbangkan pertanian regeneratif yang memulihkan lahan dan menjaga keanekaragaman hayati sedemikian rupa, dan utamanya itu memelihara kesehatan tanah.
“Jadi, itu penting sekali untuk kembali menyehatkan lahan. Menyehatkan lahan itu supaya kelapa juga tetap melakukan proses fotosintesa, bukan photorespiration,” ujar dia.
Suharso menambahkan, paradigma ini perlu didukung dengan penerapan pola budidaya yang baik, terutama para petani dan pemilik lahan itu sendiri.
“Penggunaan sumber daya genomik dan bioteknologi yang canggih itu juga akan membantu para petani, sehingga mampu memilih varietas kelapa yang tangguh terhadap perubahan iklim,” kata dia.
Selain itu, pemanfaatan IoT, kecerdasan buatan, dan analisis data besar sangat penting untuk mengoptimalkan pengelolaan kebun, termasuk penggunaan pupuk, pengairan, serta penanganan hama dan penyakit.
Namun, tidak kalah pentingnya adalah memberikan akses langsung kepada petani terhadap harga dan kebutuhan pasar, sehingga mereka dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik.
“Tentu seluruh upaya ini harus sedemikian lupa, tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi bisa diorkestrasi dan dengan demikian kalau bentuknya orkestrasi, pendekatannya adalah industri dan pasar yang lebih luas, sehingga seperti saya sampaikan tadi, kontinuitas dari supply terjaga, kualitasnya juga dapat dipertahankan,” pungkas Suharso.