Penyakit gugur daun (Fusicoccum) menyerang puluhan ribu hektar lahan karet di tujuh provinsi sehingga menjadi ancaman luar biasa bagi kelangsungan perkebunan karet Indonesia. Untuk itu, penelitan penyakit gugur daun karet perlu ditingkatkan.
Hal tersebut disampaikan Direktur Pusat Penelitian Karet Bogor, Gede Wibawa, baru-baru ini di Jakarta. Menurutnya, penyakit gugur daun pada pohon karet masih menjadi bahaya besar pada tanaman karet. Bahkan pada periode semester I tahun 2018, penyakit ini menyebabkan produksi karet turun 13%-14%.
Padahal, karet merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. Karena itulah, diperlukan perhatian khusus untuk menelusuri penyakit ini.
Menurut Gede, sebetulnya gugur daun merupakan penyakit tahunan yang umum datang saat memasuki musim kemarau. Namun terdapat laporan dari sejumlah daerah yang mengalami gugur daun di luar musim kemarau dan hingga tiga kali, hasil identifikasi pusat penelitian menunjukkan ini sebagai serangan dari Neofusicoccum sp tersebut.
“Penyakit fusicoccum ini sebelum 2017 itu adalah penyakit daun karet yang belum dianggap penting seperti saat sekarang. Kemudian tiba-tiba mulai dari Sumatera Utara terjadi gugur daun lebih dari satu kali,” jelas Gede.
Efeknya pada periode Januari-Juni 2018 terjadi gugur daun yang menurunkan produksi karet dalam kisaran 13%-14%. Kemudian pada periode bulan Juli, terjadi penurunan produksi 40%-50% dibandingkan tahun lalu. Adapun laporan mengenai penyakit ini sebenarnya sudah datang sejak awal tahun.
Gede menambahkan, jika kondisi buruk itu tidak diatasi dengan cepat, bisa jadi Indonesia akan mengalami seperti Brazil yang hingga kini tidak bisa lagi menanam karet karena terkena penyakit “gugur daun Amerika Selatan” pada 1998.
“Sampai saat ini Brazil tidak bisa menanam karet lagi. Bayangkan dahsyatnya penyakit ini bagi tanaman karet,” katanya.
Gede menceritakan bahwa penyakit gugur daun ini terdeteksi pertama kali di perkebunan karet di Sumatera Utara pada 2016 yang diperkirakan akibat adanya pembelian bibit. Penyakit ini kemudian cepat menyebar ke kantong-kantong perkebunan karet terutama di Sumatera.
Akibatnya, pada 2018, Gede memastikan bahwa penyakit gugur daun ini sudah tersebar di perkebunan enam provinsi lainnya, yakni Sumsel, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung.
Menurut dia, faktor iklim dan lemahnya daya tahan tanaman karet Indonesia menjadi salah satu penyebabnya.
Hal ini cukup dimaklumi karena pada 2016 petani masih dihadapkan pada persoalan rendahnya harga getah sehingga tidak melakukan pemupukan secara optimal. Selain itu, pada 2015 terjadi kejadian kebakaran hutan dan lahan yang cukup hebat sehingga memp0engaruhi proses fotosintesis tanaman.
“Gugur daun ini disebabkan sejenis cendawan yang menghasilkan racun. Penyebarannya melalui udara, sehingga ketika menyerang satu daun, maka akan menyerang daun lainnya, dan ujung-ujungnya satu hamparan,” kata Gede.
Lahan milik Pusat Penelitian Karet di Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, pun tidak luput dari serangan penyakit gugur daun ini, yakni menyerang lahan produktif seluas 905 hektar dari total 1.500 hektar lahan yang tersedia.
Tim peneliti tengah mendata luasan lahan yang terpapar karena sejauh ini baru menerima data dari perusahan-perusahaan perkebunan.
“Data kasar yang kami miliki dari laporan dari perusahan-perusahaan perkebunan per Februari 2018 di tujuh provinsi, diketahui penyakit gugur daun sudah menyerang 22.000 hektar. Saya pastikan lebih banyak lagi, karena perkebunan rakyat juga sudah terkena,” ucap Gede.
Sebagai gambaran, lahan seluas 905 hektar di Sembawa, Banyuasin, hanya menghasilkan 90 ton setiap panen dari seharusnya 180 ton, padahal pada Juli-Agustus ini menjadi puncak panen getah karena memasuki puncak musim kemarau, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sejauh ini, para peneliti telah menemukan solusi untuk mengatasi persoalan ini yakni dengan menyemprotkan cairan pembasmi dengan cara fogging. Melalui cara ini, tanaman akan terpulihkan kembali dalam masa 3 bulan.
Namun, solusi ini juga dalam dilema karena harga karet sedang jatuh yakni Rp7.000 per kilogram sehingga semakin memberatkan petani.
Untuk 1 hektar lahan diperlukan biaya Rp180.000 untuk satu kali fogging menggunakan cairan hexagonal, sementaranya idealnya untuk pemulihan diperlukan tiga kali fogging.
“Nanti daunnya tumbuh lagi. Meski difogging, tetap saja masih dalam ancaman, seperti yang dialami Malaysia saat ini. Namun, yang terpenting bagi kami peneliti di seluruh dunia yakni bagaimana caranya bisa melahirkan jenis klon (bibit) yang unggul dari penyakit daun,” kata Gede.
Menurut dia, penyakit gugur daun dahulu pernah menyerang tanaman karet di Malaysia namun kini sudah tidak lagi. Sekarang pihaknya tengah mencari tahu penyebab penyebarannya. Asal tahu selain penyakit gugur daun fusicoccum, penyakit gugur daun yang biasa menyerang komoditas karet adalah Oidium, Colletothricum dan Corynespora. *** RED