Produktivitas Padi Indonesia Masih Terbelakang

0
Panen padi. (dok: Kementan)

Direktur Perbenihan, Gunawan, mengungkapkan bahwa ketergantungan pada benih swadaya merupakan salah satu alasan utama mengapa produktivitas padi di Indonesia masih rendah.

Gunawan mengungkapkan bahwa saat ini, produktivitas padi di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia, bahkan di Asia Tenggara.

“Rata-rata produktivitas di Vietnam sudah 7 sampai 8 ton per hektare, di Indonesia masih berkutat di 5,2 ton per hektare,” kata Gunawan dalam diskusi mengenai peningkatan produksi padi di musim kemarau, Selasa (30/7).

Dia mengatakan, ketergantungan pada benih swadaya, yang belum terdaftar dan terstandarisasi, menjadi faktor utama yang menghambat peningkatan produktivitas.

“Kita tahu bahwa penggunaan benih swadaya tidak masalah kalau benih itu didaftarkan, ditangkarkan secara resmi ke BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih),” ujar dia.

Penggunaan benih bersertifikat di Indonesia untuk tanaman padi saat ini masih berada di sekitar 56 persen. Dengan total luas tanam padi di Indonesia mencapai 11 juta hektare, sekitar 5 juta hektare masih menggunakan benih swadaya.

“Kebutuhan benih di Indonesia untuk luas penanaman sekitar 11 juta hektare per tahun mencapai sekitar 380.000 ton. Saat ini, benih bersertifikat yang tersedia baru mencapai sekitar 230.000 ton, sementara sisanya masih menggunakan benih swadaya,” papar Gunawan.

Produktivitas padi dengan benih swadaya umumnya hanya berkisar antara 4 hingga 5 ton per hektare. Sebaliknya, benih bersertifikat yang diproduksi oleh produsen dan penangkar terdaftar dengan menjaga standar operasional prosedur (SOP) dapat mencapai produktivitas antara 7 hingga 8 ton per hektare.

“Jawa Barat itu termasuk provinsi yang sudah produktivitas di atas tingkat nasional 6 sampai 7 ton. Tapi di lokasi-lokasi daerah lain, produktivitasnya 4 sampai 5 ton, sehingga membuat rata-rata produktivitas nasional hanya di kisaran 5,2 atau 5,4 ton per hektare, masih jauh dari target capaian yang kita harapkan,” kata dia.

Menurut Gunawan, dengan meningkatkan penggunaan benih bersertifikat di seluruh 5 juta hektare pertanaman padi, akan ada peningkatan produktivitas sebesar 1 hingga 2 ton per hektare. Hal ini berpotensi menambah 5 juta hingga 10 juta ton gabah kering panen (GKP) per tahun hanya dari sisi penyediaan benih.

Selama ini, kurang ada strategi yang signifikan untuk mendorong penyuluh dan pihak terkait agar lebih aktif mengedukasi petani tentang pentingnya penggunaan benih bersertifikat yang berkualitas.

Di wilayah-wilayah tertentu, seperti wilayah selatan di Jawa Barat, penggunaan benih bersertifikat masih sangat rendah, sementara di Pantura, penggunaannya hampir mencapai 100 persen. Wilayah Pantura memang dikenal sebagai pusat produksi benih padi.

“Ironisnya, pendekatan pemerintah dalam distribusi bantuan benih sering kali terlalu politis, sehingga bantuan tidak selalu tepat sasaran. Sebaiknya, bantuan seharusnya diarahkan ke daerah-daerah yang belum familiar dengan penggunaan benih bersertifikat,” kata dia.

Selain itu, perlu diingat bahwa lahan untuk penangkaran benih dan produksi padi konsumsi adalah sama. Ketika terjadi perubahan iklim ekstrem seperti El Nino yang mengurangi luas area tanam, luas penangkaran benih juga otomatis berkurang.

Namun, sering kali hal ini terlupakan, dan sering kali tidak dipertimbangkan bahwa penurunan produksi dan luas tanam juga mempengaruhi ketersediaan benih.

“Kita berpikirnya bahwa pada saat produksi mengalami penurunan, luas area tanam mengalami penurunan, dianggapnya benih tidak mengalami kendala terhadap terjadinya cuaca perubahan cuaca ekstrem yang juga mengurangi luas penangkaran,” kata Gunawan.

Dia mengingatkan, konsumsi pangan di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, dan situasi ini mengkhawatirkan, mengingat 59 negara lainnya juga terancam kelaparan. Jika tidak ada kontrol yang lebih baik, Indonesia mungkin menghadapi krisis pangan.

“Mau tidak mau kita harus bergerak melakukan proses penyiapan penyediaan pangan dalam negeri, menuju swasembada pangan. Nah, rata-rata nasional masih relatif rendah, saya sampaikan sekitar 5,2 ton per hektare menurut data BPS 2022,” kata dia.

Gunawan menyatakan bahwa untuk mendorong petani menggunakan benih bermutu secara serius, ia akan mengembangkan sistem perbenihan nasional dan digitalisasi penangkaran.

“Untuk upaya mendorong petani menggunakan benih bermutu secara serius, kita akan hadirkan sistem perbenihan nasional. Saya sedang mengolah digitalisasi benih tanaman pangan untuk memastikan seluruh proses penangkaran kita bisa terdokumentasi,” pungkas dia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini