Kepala Badan Karantina Indonesia (Barantin), Sahat M. Panggabean mendukung deregulasi sebagai salah satu upaya untuk menghadapi tantangan ekonomi global pasca Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal.
“Kami siap mendukung upaya menghadapi tantangan ekonomi global pascapenetapan tarif impor oleh AS, salah satunya melalui deregulasi dan penyederhanaan perizinan untuk mempermudah layanan,” kata Sahat dalam keterangan resminya baru-baru ini.
Sahat mengatakan, Barantin yang dibawahinya sudah menerapkan konsep preborder beberapa tahun terakhir, sebagai bentuk kemudahan layanan sebelum penetapan tarif resiprokal.
Dengan preborder, komoditas sudah dijamin kesehatannya sebelum masuk ke wilayah Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dokumen persyaratan yang dikirimkan sebelum komoditas tiba, pemberitahuan awal (prior notice).
“Hal demikian dapat mempercepat tindakan karantina di Indonesia, khususnya komoditas yang termasuk kategori risiko rendah dan sedang,” tutur Sahat.
Presiden Prabowo Subianto pada Selasa lalu telah menginstruksikan kepada jajaran kabinetnya, termasuk Karantina untuk melakukan deregulasi sebagai respons terhadap kebijakan tarif resiprokal AS.
Terkait hal ini, Sahat menjamin, bila tindakan karantina di negara asal berjalan baik dan sesuai prosedur, tindakan karantina di Indonesia tidak lama.
“Karantina menerapkan sistem pertahanan hayati (biodefense) dan biosekuriti untuk melindungi sumber daya alam hayati Indonesia,” kata Sahat.
Sahat mengatakan, berdasarkan pemaparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto, peluang ekspor komoditas pertanian masih cukup tinggi.
Hal senada juga disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia masih surplus sebelum diterapkannya kebijakan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Layanan Karantina Penuhi SLA
Implementasi preborder juga telah memberikan kontribusi positif dalam Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE). Mempercepat arus barang dan menurunkan biaya logistik, termasuk komoditas pertanian dan perikanan, yang mencakup di 53 pelabuhan dan 7 bandara.
Sinergisitas dengan instansi terkait juga berdampak positif melalui layanan Single Submission Quarantine Customs (SSm QC) impor berbasis digital.
“Layanan karantina untuk komoditas dengan kriteria risiko rendah dan sedang, bisa selesai kurang dari 24 jam. Terpenuhi SLA (Service Level Agreement) untuk layanan karantina dengan risiko rendah selama 24 jam, sedangkan risiko sedang 1-3 hari,” jelasnya.
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi (PDSI), Ichwandi menjelaskan, berdasarkan data Best Trust (Barantin Electronic System for Transaction and Utility Service Technology), rata-rata SLA layanan Karantina pada tahun 2024, di 26 unit pelaksana teknis (UPT) yang melayani sertifikasi ekspor impor, di bawah sepuluh jam untuk kategori risiko rendah dan sedang.
“Data tahun 2024 lalu, rata-rata waktu layanan karantina di dua puluh enam UPT mencapai 9,06 jam. Waktu tercepat 5,85 jam pada September, sedangkan tertinggi selama 12,82 jam pada Maret. Jadi, layanan Karantina sudah terpenuhi SLA yang telah ditetapkan. Optimalisasi skema preborder maka proses clearance akan lebih cepat,” ujar Ichwandi.