Butuh Tiga Tahun Persiapan B40, Bagaimana dengan B50?

0
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Edi Wibowo dalam FGD "Menjadikan Kelapa Sawit Sebagai Lumbung Energi Terbarukan", Serpong, Rabu (13/9).

Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Edi Wibowo  mengatakan, butuh tiga tahun untuk mempersiapkan biodiesel 40 persen (B40).

Edi menjelaskan, jika mengikuti timeline yang ada, proses menuju B40 sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2021. Ini mencakup penetapan spesifikasi, uji jalan, dan saat ini tahap uji nonotomotif.

“Nanti kita harapkan mulai start B40 tahun 2025. Jadi untuk persiapan ini kita perlu sekitar 3 tahun untuk persiapan B40 ini,” kata Edi dalam FGD “Menjadikan Kelapa Sawit Sebagai Lumbung Energi Terbarukan”, Serpong, Rabu (13/9).

Untuk implementasi B50, Edi menyebutkan bahwa sesuai target, pelaksanaannya mungkin baru bisa dilakukan pada tahun 2028.

“Sesuai dengan targetnya kita mungkin baru di 2028 nanti menuju ke B50-nya, tapi nanti bisa saja dengan percepatan yang ada, ini akan ada penyesuaian kembali,” ujar Edi.

Sebab, kata Edi, untuk implementasi B50 perlu kajian dari sisi kesiapan stok biodiesel, kesiapan industri biodiesel, dan dampak pada produksi kilang nasional.

“Kalau kita nanti asumsi kita gunakan B50 maka diperlukan dengan biogasol sekitar 40,3 juta kilo liter (KL) untuk B50 kita perlu biodiesel sebesar 20,1 juta KL. Jadi, untuk itu mungkin juga kebutuhan CPO untuk B50 sekitar 18,3 juta ton atau 32,7 persen dari total produksi CPO nasional,” jelas Edi.

Edi menyampaikan bahwa keseimbangan kebutuhan biodiesel harus dijaga, mengingat CPO digunakan tidak hanya untuk energi tetapi juga untuk pangan, oleokimia, dan ekspor.

Oleh karena itu, Edi mendorong percepatan replanting. Dia khawatir bahwa jika program replanting tidak berjalan dengan baik, akan terjadi pengurangan ekspor untuk mendukung kebutuhan B50.

“Kecuali nanti didorong dengan program replanting, tapi kan program replanting perlu waktu juga, misalnya tanam saat ini baru tiga tahun nanti bisa panen,” tutur Edi.

Kemudian, perlu juga dilakukan evaluasi untuk memastikan keseimbangan antara pasokan CPO dan kebutuhan nasional yang optimal. Ini termasuk memastikan bahwa stok tidak bersaing dengan kebutuhan pangan.

“Kemudian kesiapan bisnis biodiesel juga itu masih perlu disusun ke B50 4,5 juta KL dan itu ada potensi untuk investasi yang nanti perlu dikembangkan secara masif, yang perlu waktu sekitar 1-2 tahun juga,” sambung Edi.

Edi melanjutkan, jika B50 diterapkan, dengan kebutuhan biodiesel sekitar 20,1 juta KL dan total produksi solar di kilang nasional sekitar 21,3 juta KL, akan ada surplus minyak solar sekitar 1,2 juta KL.

“Jadi akan surplus daripada minyak solar itu dari kilang nasional sekitar 1,2 juta KL ini juga mungkin perlu dipertimbangkan dalam nanti pemanfaatannya apakah untuk ekspor atau dibeli oleh BUBBM yang lain,” ujarnya.

Kemudian perlu juga kajian terkait kesiapan dan daya dukung infrastruktur.

“Jadi kesiapan infrastruktur karena infrastruktur blending di BUBBM ini rata-rata untuk B20 sampai B30 karena kemarin untuk B35 juga perlu masa transisi apalagi nanti menuju B40 dan B50 juga mungkin perlu support dan mungkin perlu waktu untuk investasi peningkatan infrastruktur blendingnya dan penyalurannya,” jelas Edi.

Terkait insentif, lanjut Edi, perlu dipastikan kesiapan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam mendukung B50. Jika BPDPKS tidak memungkinkan, perlu dipertimbangkan opsi sumber pendanaan lain.

Kemudian, perlu juga diakukan kajian teknis yang saat ini telah dilakukan terkait dengan penentuan spesifikasi, kemudian uji jalan, dan uji di mesin nonotomotif. Hal ini perlu dilakukan dan butuh waktu.

“Terkait dengan timeline yang kami coba susun untuk kajian-kajian menuju B50 yang sudah kami siapkan, total waktu yang dibutuhkan untuk seluruh proses ini diperkirakan hingga akhir 2025 dan awal 2026,” ungkap Edi.

Adapun persiapan tersebut meliputi penyiapan spesifikasi, pelaksanaan uji jalan dan uji di mesin nonotomotif, penyusunan dokumen pedoman handling dan storage, pelaksanaan kajian kesiapan infrastruktur, penyusunan pedoman, kajian harga indeks pasar, serta penyusunan kajian bisnis proses pengadaan BBM untuk B50.

Capaian Biodiesel

Edi menjelaskan, biodiesel telah disalurkan sekitar 12,3 juta KL pada tahun 2013, yang memberikan penghematan devisa sekitar Rp 123 triliun, peningkatan nilai tambah hampir 7 triliun rupiah, serta penyerapan tenaga kerja lebih dari 1,6 juta orang.

“Ini memberikan penghematan devisa sekitar Rp 123 triliun , peningkatan nilai tambah hampir Rp 7 triliun, serta penyerapan tenaga kerja lebih dari 1,6 juta orang,” kata Edi.

Penggunaan biodiesel juga berkontribusi pada reduksi emisi gas rumah kaca, dengan pengurangan emisi mencapai 34,5 juta KL biodiesel, dan jika diterapkan B50, emisi CO2 akan berkurang sekitar 44 juta ton.

“Dan bagaimana peran daripada biodiesel dalam kontribusi baura energi nasional tahun 2013 yaitu biodiesel menyumbang sekitar 4,6 persen daripada baura tersebut,” pungkas Edi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini